Roda terus berputar dalam kehidupan ini. Siang dan malam silih berganti saling melengkapi. Tawa, sedih, senang, duka, kecewa, bangga menjadi sebuah hal yang tak akan pernah terpisahkan dalam sebuah cerita. Dan itu semua telah ku lalui di tanah Jogja. Semua cerita itu kini ku bungkus dalam sebuah wadah kenangan yang tak akan terhitung harganya. Lalu ku simpan didalam lumbuk hati yang paling dalam dan tak ada orang lain yang mampu menjamahnya.
Malam masih terlalu gelap untuk menatap jalanan. Tetapi bulan selalu bersinar untuk menerangi langkahku yang semakin dekat dengan sebuah impian. Ku buka sedikit celah jendela mobil. Dan ku rasakan hembusan angin menerpa wajahku yang seakan membisikan sesuatu di telingga, “Selamat datang di Bandung”. Ribuan bintang menjadi saksi keberadaan ku disini.
“Kita sudah sampai”, ujar Ayah ku yang menemani perjalanan ku ini. Mata yang masih terasa berat untuk dibuka, harus ku paksa untuk dapat melihat apa yang ada di hadapanku saat ini. Aku berdiri menatap jauh sebuah bagunan bertuliskan, “Institut Manajemen Telkom” Pandanganku tak dapat ku alihkan dari itu. Aku mulai membayangan sesuatu yang mungkin saja bisa terjadi seandainya aku tidak lelah dan ngantuk seperti saat ini. Berlari ku kesana dan akan ku daki gedung itu sampai puncak tertinggi. Dengan satu napas ku akan berteriak, “IMT.IMT.IMT”
“Wid, cepatlah bawa barang – barang mu. Kita akan menuju kost an” pinta ayahku. Tak butuh lama dari itu, aku mulai mengambil barang – barang kebutuhan selama ada disini nantinya. Kami pun melesat menuju istana mungil ku. Jauh hari sebelumnya, Ayah ku sudah memesannya dan istana ini dipersiapakan untuk melangsungkan proses kehidupanku.
Sepanjang perjalanan, ku rasakan dingin yang begitu kejam menujuk sampai tulang kering. matahari masih malu untuk menampakan wajahnya. Tercium bau coklat yang cukup tajam masuk ke liang hidung ku. “kamu mencium bau sesuatu?” Tanya Ayah. Bibirku terkunci hawa dingin, hanya anggukan kepala untuk menjawabnya “Di sebelah sana pabrik ceres” jelasnya. Batinku, sangat menyenangkan jika air kran disini keluarnya coklat. Tak bisa terbayang jika itu terjadi.
Melewati jembatan penghubung antara dua kehidupan; kost dan kampus. Mata ini tak bisa lepas dari apa yang ku lihat di bawah jembatan, begitu sadis sungai disini. Aku rasa penduduk sekitar sungai ini tak mempunyai tempat sampah yang cukup memadai. Akan sulit untuk dibayangkan seandainya lahar dingin Merapi sampai di sungai ini.
Kami terus berjalan menelusuri jalan yang tak begitu lebar, tapi dirasa lebar oleh orang sekitar ini karena begitu banyaknya jejak kaki yang terekam dijalan ini. Ini seperti surganya anak kost. Warteg, warnet, loundry, rental berkumpul menjadi satu kawasan yang akan memenuhi segala kebutuhan untuk tetap dapat hidup asal memunyai isi dompet yang cukup memadai.
“Selamat datang, gimana perjalanannya dari Jogja” sambut bapak kost yang menunggu kedatangan kami disini.
Sedikit tarikan napas dari Ayah ku, “Huh… Jauh lebih berat dari pada harus mengitari GBK sejauh lima putaran”
“Hahahaha… Silahkan istirahat dulu didalam, ini kuncinya” kelakarnya dengan memberikan kunci kamar.
Sesampainya di istana mungil ku, kaki tak kuasa menopang berat badan. “Broouuuggg…” tubuh ini terhempas di kasur yang cukup empuk dan sangat nyaman untuk memanjakan mata yang terpejam. Belum sempat ku menyusun mimpi – mimpi, Ayah memaksa ku untuk membuka kelopak mata yang terasa berat. “Kemasi barang mu secukupnya, hari semakin siang kita harus sampai di gegerkalong sebelum malam menjelang” kata ayahku.
Otot dan saraf masih terasa kuat mengikat sendi – sendi tulang. Tapi aku segera bangkit untuk kembali melanjutkan perjalan. Jarak Gegerkalong cukuplah jauh dari tempat ku berdiam saat ini, Dayeuhkolot. Karena hari esok akan menjadi momen pertama ku berada di tengah – tengah keluarga besar Institut Manajemen Telkom.
Inilah kota Bandung bukan Jogja. Bukan sepeda, becak, atau andong yang memenuhi jalanan. Angkot terus hilir mudik, dan berhenti dimana pun mereka mau. Dinginnya udara dihapus dengan CO2 yang mulai bertebaran diudara. Sedikit demi sedikit mobil ini bergerak. Semua tahu dengan kondisi seperti ini karena sangat jarang suara klakson kendaraan menggetarkan gendnang telinga ku. Tapi aku mencoba tetap menikmati suasana kota baru ini.
Hampir dua jam ku habiskan di dalam perjalanan, sebelum akhirnya sampai di penginapan. Kami hanya memesan satu kamar untuk semalam karena setelah selesai sosialisasi di sini akan ku habiskan 2 jam perjalanan lagi menuju Dayeuhkolot. Tanpa menunggu aba – aba, ku langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuh dari segala debu yang melekat menjadi satu dengan keringat.
Sore menjelang ketika posisi matahari siap digantikan dengan sinar bulan. Perut tak kuasa lagi menahan lapar dan tenggorokan terasa gersang tak setetes air mengalir didalamnya. Ku beranjak keluar dari penginapan mencari suasana baru ditenggah keramain Bandung. Kaki ku melangkah mencari apa yang perut ku inginkan. Dan terhenti di sebuah warung yang menjajakan, pecel lele. “bang lele bakar nya satu dimakan sini sama minum teh” pesan ku.
Tak butuh waktu lama dari ucapan ku, pesanan yang terucap telah tersaji. Dalam sekejap ku melahap habis menu yang disajikan. Dan minum teh hangat menjadi penutup isi perut. Tapi ada sesuatu yang berbeda dari lidah ku ketika seteguk teh masuk ke mulut. “Bang kuk tawar gini tehnya? Gak ada rasanya!”
“Laki kuk minum rasa - rasa, ya gak laki” jawab abang itu.
Bingung, kesel, kecewa, emosi, dan semua itu menjadi satu dipikiranku saat ini mendengar jawaban dari orang itu. Tak ingin kemarahan ku memuncak segera mata kaki ku ayun meninggalakn tempat itu.
Gelap malam kini mulai menghampiri. Suara jangkring, burung hantu dan katak tak lagi dapat ku dengar disini. Yang ada hanyalah suara kendaraan yang terus meramaikan suasana malam. Malam ini menjadi sesuatu yang sangat berharga buat aku. Jarum jam menujukan angka 11.50, mata ku juga belum tertutup. Aku keluar dari kamar menuju halaman depan penginapan ini yang berhadapan langsung dengan kampus Institut Manajemen Telkom pertama. Gumpalan langit maha sempurna. Angin malam meniupkan kedamaian dalam hati. Ku tatap dewi malam yang datang ditemani ribuan bintang angkasa.
Ini suasana yang berbeda. Bulan yang aku saksikan saat ini tidaklah seperti bulan yang selalu menerangi ku selama 18 tahun di Jogja. Dan malam ini adalah bulan pertama yang ku tatap ketika usia ku menginjak angka 19.
Melewati momen ini sendirian ditenggah keramaian kota Bandung jelas bukan sebuah hal yang menyenangan buat ku. Tapi sekarang aku bukanlah anak kecil lagi. Sudah saatnya aku menatap masa depan. Dan aku akan membuktikan kepada orang tua bawasanya aku layak ada disini. Hari esok adalah awal dari sebuah perjuangan yang sesungguhnya. Karena ku tahu keberadaan ku disini tidak lah mendapat dukungan sepenuhnya dari Ayah. Dia jauh mengharapkan aku berada di Jakarta Selatan tanggal 29 nantinya.
Malam semakin larut. Hari telah berganti begitu pula dengan usia ini. Hembusan angin malam terasa begitu dingin dan mencoba membekukan aliran darah ku. aku harus segara masuk jika tetap ingin melanjutkan hidup disini. Tapi, aku tidak membayangkan ini sebelumnya. Pintu tidak dapat ku buka. Pikiran ku terlampau jauh untuk mengatakan pintu sudah dikunci. Rasa panik langsung menyeruak dalam diri ku. bayangan kematian karena kedinginan mengahantui. Batin ini terus bertanya, apakah usia ku akan terhenti disini? Baru juga beberapa menit merasakan usia baru. Dengan sekuat tenaga ku dorong pintu itu, tapi tidak bisa terbuka juga. Hingga akhirnya aku bersiap mengambil ancang – acang untuk mendobrak paksa pintu itu. Namun sayang aksi ku dihentikan teriakan satpam penginapan. “Hei bung apa yang kau lakukan?”
Sedikit kaget, tapi ku jawab dengan nada yang cukup kesal, “Apakah Anda tidak tahu aku terkunci di luar dan hampir mati kedinginan jika tidak segera masuk kedalam”
Satpam itu berjalan mendekati pintu. Aku tahu dia tidak memiliki kunci duplikat hotel ini. Apakah dia juga akan mencoba untuk mendobrak paksa. Tapi dengan sedikit sentuhan, pintu itu di gesernya ke samping kanan dan kiri hingga akhirnya terbuka.
Seakan tidak percaya apa yang ku lihat. Saat ini yang ingin ku lakukan hanyalah menyembunyikan wajah supaya tidak terlalu diingat orang itu. Dengan cepat mulai berjalan memasuki hotel. “Bukan di dorong tapi di geser bung” ujar satpam itu sambil menahan tawa dalam bibirnya. Aku hanya menganggukan kepala dan mempercepat langkah kaki ku.
Sinar mentari menerobos masuk celah kamar untuk membangunkan mimpi – mimpi ku. Ayah tampak sudah selesai mandi dan mengemasi barang – barangnya. “Ayah, langsung pulang sekarang?”
Sembari tangannya menata satu persatu barang dan dimasukan kedalam koper, dia menjawab, “besok ada pekerjaan yang mesti ayah selesaikan di kantor”
Aku pun segera menuju kamar mandi dan bersiap berangkat kekampus. Sebelum berangkat aku dan ayah ku menyempatkan untuk memanjakan cacing yang ada didalam perut denganbubur ayam yang cukup menghangatkan suasana sekarang ini. “Mangga” tanpa ada permintaan dari ku segelas teh pun tersaji. “Bang, aku kan tidak memesan teh”, aku yakin rasanya pun tidak akan jauh berbeda dengan apa yang aku minum semalam.
“itu memang sudah menjadi layanan di sini kang” jelas penjual bubur ayam itu. “Ow…” pantesan rasanya tawar, namanya juga cuma gratisan, batin ku.
Sebelum berangakat ayah berpesan untuk ku, “Ayah tunggu kabar USM tanggal 29. Tapi saat ini kamu ada disini, lakukanlah yang terbaik”
“Iya, aku akan berusaha untuk itu” jawab ku penuh keyakinan.
Kami berpisah dalam satu arah yang berbeda, dan satu kaliamat terkhir “Oya, happy birthday , wish you all the best” senyum terakhir mengakhiri perjumpaan ini.
***
Satu demi satu mahasiswa mengarahkan kakinya menuju kampus Institut Manajemen Telkom. Lebih tepatnya ini adalah kampus Manajemen Bisnis Telekomunikasi dan Informasi (MBTI). Berbagai karakter daerah masih kuat tersaji menjadi satu disini. Aku masih melangkah sendiri dengan mimik wajah yang cukup gembira. Bangga bisa berada ditengah – tengah orang pilihan dari seluruh penjuru Indonesia.
Menelusuri lorong – lorong kampus untuk mendapatkan sosialisasi menjadi awal perjumpaan ku dengan teman – teman berbagai jurusan. Detik demi detik telah berlalu. Terlalu cepat untuk meninggalkan tempat ini. Tapi, aku harus segera bersaing dengan ribuan orang untuk berburu perlengkapan Orientasi Kegiatan Mahasiswa Baru (OKMB).
Seperti jelangkung, puluhan orang berjejer dipinggir jalanan untuk menjajakan barang – barang perlengkapan OKMB. Tapi yang jadi pertanyaan bagaimana dalam hitungan menit dari sosialisi tentang barang yang harus dibawa, para pendang ini sudah siap dengan apa yang diperintahkan. Aku tidak cukup yakin jika mereka adalah alumni IM Telkom yang sudah hafal barang yang digunakan untuk OKMB. Masa bodoh, cukup beruntung bagi ku yang masih buta dengan jalanan disini dengan kehadiran mereka. “Kantong plastik empat berapaan, Bang?” tanya ku
“Rp2.000,00 saja” jawabnya dengan penuh optimis.
Buset deh, nekat banget ini yang jual, kalau ada isi nya cemilan atau minuman langsung dah ku beli, lha ini cuma plastik tipis doang. Tapi, kali ini aku berada dijalan yang begitu sempit untuk melakukan penawaran. Ternyata tidak cuma cabe dan barang sembako lainnya yang melonjak harganya tapi juga katong plastik. Bahkan barang – Barang yang yang dijual disini harganya diatas rata – rata pasaran. Aku tidak tahu apakah barang untuk OKMB ini original semua. Tak ingin menguras isi dompet. Segera ku tinggalkan tempat ini dan menuju kost an, Dayeuhkolot.
Jalanan panjang dengan panas yang begitu menyengat, seakan mencoba merobek kulit. Termenung ku di dalam angkot. Silih berganti orang yang mengisi kosongnya tempat duduk. Begitu pula dengan pantat ku yang terus berganti tempat duduk dari angkot satu ke angkot yang lain untuk dapat sampai ketempat tujuan.
Hari demi hari ku lalui. Hingga menjelang OKMB. Semua terasa sibuk, jauh lebih sibuk jika dibandingkan Ibu rumah tangga. Jam 5 pagi kami harus berangkat dan baru jam 3 pagi kami baru mulai untuk tidur. “Woiii, botak bangun kau” cara yang menyeramkan untuk membangunkan satu kost an. Mungkin tanpa ada dia yang membangunkan tidur ku, akan ku lewati semua OKMB didalam kamar. Pagi buta kami bersama lari menuju kampus. Ini seperti maling jemuran yang tertangkap basah dan berusaha lari sekuat tenanga.
“Punten kang… Punten teh” setiap saat kata itu harus diucap. Sangat membosankan bagi yang mengucap dan mendengarkan. Biarpun itu untuk menjaga biar tidak kena marah dari tatib, tetap saja aungan tatib menyambar – nyambar meski tak ada mendung dan hujan. Belum ketika suara itu tepat didepan muka ku. Ampun dah, bau mulutnya itu yang bikin gak tahan. Pengen pulang ambil permen wangi lalu minta tatib untuk makannya. Setidaknya untuk pengharum suasana.
Tiga hari lamanya badan ini diruntuhkan. Tapi dibalik itu semua tersimpan sebuah makna yang tersirat begitu dalam. Lebih dari spirit of togetherness. Dan semua itu diakhiri dengan pesta kembang api penyambutan dan peresmian sebagai mahasiswa baru Institut Manajemen Telkom.
Ini adalah kuliah pertama ku, sangat optimis ku injakkan kaki di kampus. Aku tidak peduli lagi apa pun keputusan tanggal 29, bagi ku disini adalah tempatku. Dan aku disini bukan hanya sekedar bermimpi, tapi juga akan berjuang untuk melangkah mengejar impian itu.
0 komentar:
Posting Komentar